Kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Israel memicu hujan kritik seputar simbolisme lawatan yang diyakini serupa dengan pengakuan terhadap negeri Yahudi. Pria yang akrab dipanggil Gus Yahya itu hadir di Yerusalem atas undangan organisasi lobi American Jewish Committee.
Setelah Hamas di Jalur Gaza, kini giliran gerakan boikot Israel, Boycott, Divestment and Sanctions Movement (BDS) yang mengritik Nahdlatul Ulama. Seperti dilaporkan Middle East Monitor, NU berencana menindaklanjuti kunjungan Gus Yahya dengan mengirimkan delegasi ke Palestina untuk mempromosikan perdamaian.
Namun niat tersebut dikecam lantaran mengabaikan nilai simbolik kunjungan tersebut, karena dinilai "memberikan legitimasi atas pendudukan Israel dan menutupi eskalasi serangan terhadap warga Palestina, untuk mengontrol mereka dan menghalangi akses terhadap hak paling dasar sekalipun," tulis organisasi tersebut lewat kantor berita Quds Press.
Pria yang juga menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu sebaliknya meyakini keputusannya untuk datang ke Israel sudah benar. "Beberapa orang di sini terheran-heran dengan keputusan saya untuk datang, karena mereka berpikir orang ini pasti berada dalam bahaya karena banyak kaum muslim yang pasti mengancam akan membunuhnya," kata dia kepada Associated Press.
Selain berbicara pada Konfrensi AJC, Gus Yahya juga dijadwalkan mengunjungi Universitas Ibrani dan berbicara dengan tokoh Yahudi, Kristen dan Muslim lokal. Dia tidak direncanakan bertemu dengan politisi Israel dalam kunjungannya kali ini.
Gus Yahya mengaku konflik Israel dan Palestina bukan satu-satunya agenda lawatan, melainkan juga kerjasama lintas agama sebagai jalan penyelesaian konflik, termasuk untuk kasus Rogingya di Myanmar. "Kita menghadapi masalah peradaban dan ini berkaitan dengan agama," katanya, "kami ingin ikut memberikan sumbangan dalam kaitannya dengan agama kami."
Dalam pidatonya dia mengritik pendekatan politik dan keamanan dalam konflik Israel-Palestina yang selama ini gagal menyudahi penderitaan warga sipil. Ia merujuk pada pandangan bekas Presiden Abdurrachman Wahid yang menilai agama bisa ikut berperan menuntaskan konflik tersebut.
Dalam hal ini dia mengimbau umat muslim harus mengembangkan "diskursus baru" atas dasar pengakuan bahwa umat muslim dan non muslim adalah setara dan bisa hidup berdampingan. Menurutnya keyakinan bahwa umat non-muslim merupakan musuh bagi Islam "adalah problematis karena tidak searah dengan realita kekinian peradaban kita," ujarnya.
"Jika ditengah perseteruan ini kita terus ngotot memandang pihak lain sebagai musuh, bagaimana mungkin kita mampu melihat peluang bagi perdamaian? Apa gunanya berbagi ini dan itu, menyepakati ini dan itu, mengatakan ini dan itu, jika kita tak pernah bersedia melepaskan cita-cita untuk membasmi lawan? Apakah kita akan terus bertarung sampai salah satu pihak musnah, walaupun harus selama-lamanya hidup dalam kesengsaran?"
Gus Yahya bukan tidak memahami kontroversi kunjungannya. Dalam sebuah surat yang ia kirimkan ke Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dia menyerahkan kepada pemerintah untuk "membatalkan" kunjungannya jika dianggap mencederai kepentingan negara. "Tapi jika ada manfaat, mari lanjutkan agar menjadi keuntungan yang nyata," tulisnya.
Post a Comment