MATARAM — Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengagendakan pemanggilan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB, Rumaksi Sj.
Pemanggilan Rumaksi ini untuk dimintai keterangan terkait dengan pengusutan kasus dugaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tani fiktif untuk petani tembakau dan jagung di Lombok Timur. Dimana semenjak kasus dugaan KUR fiktif ini naik ke penyidikan beberapa waktu lalu, Ketua HKTI NTB belum pernah diperiksa.
Sepekan yang lalu, pihak Kejati sudah menjadwalkan pemanggilannya, akan tetapi panggilan itu tidak dipenuhi Rumaksi. Sehingga pihak Kejati kembali menjadwalkan ulang pemanggilan pria yang saat ini menjabat Wabup Lotim ini untuk dimintai keterangan.
“Dia (Rumaksi, red) tetap kooperatif, karena memang ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan kemarin, makanya kami jadwalkan ulang,” ucap Aspidsus Kejati NTB, Ely Rahmawati, Selasa (28/6).
Soal kapan akan dipanggil, tidak disebutkan secara rinci. Dikatakan, saat ini pihaknya tengah memperdalam penyidikan untuk mencari alat bukti yang lebih mendalam lagi. Dalam proses penyidikan ini, lanjutnya, dalam rangka mencari alat-alat bukti. Dan setelah mengantongi minimal dua alat bukti, maka akan dilanjutkan dengan penetapan tersangka.
“Jadi, kami sedang perdalam penyelidikan. Kita belum menetapkan tersangka. Kita harus mencari alat bukti yang mendalam lagi, dan ini kita lagi mencari alat bukti yang masih kita perdalam terus,” katanya.
Sejauh ini, banyak pihak terkait yang sudah dipanggil. Namun dirinya tidak bisa menyebutkan satu persatu. Sementara untuk Sekretaris dan Bendahara HKTI NTB sendiri, dikatakan akan dijadwalkan pemeriksaannya juga. “Nanti kita jadwalkan itu semua,” imbuhnya.
Untuk diketahui, kasus ini ditangani Kejati NTB, atas adanya laporan masyarakat. Terutama para petani yang menjadi korban pengajuan KUR fiktif di BNI. Permasalahannya yaitu para petani kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman di bank lain. Hal tersebut disebabkan karena para petani telah tercatat namanya sebagai penerima pinjaman KUR di BNI. Padahal para petani sama sekali tidak pernah menerima dana KUR tersebut.
Total jumlah petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR fiktif ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Dari jumlah tersebut, total pinjaman KUR fiktif yang menggunakan nama petani ini mencapai Rp 16 miliar lebih.
Kasus ini bermula pada Agustus 2020 lalu. Ketika itu, salah satu Dirjen kementerian pertanian melakukan pertemuan dengan para petani di wilayah selatan Lombok Timur. Dalam pertemuan itu, Dirjen tersebut memberitahukan terkait adanya program KUR untuk para petani.
Informasi itu lalu ditindaklanjuti dengan pengajuan nama petani yang diusulkan mendapatkan kredit. Untuk petani jagung sekitar 622 orang yang tersebar di lima desa. Dan yang paling banyak adalah petani jagung di Desa Ekas Buana dan Sekaroh, Kecamatan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan pinjaman sebesar Rp 15 juta per hektare, dengan total luas lahan mencapai 1.582 hektare.
Sementara petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan dana KUR mulai Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per orang.
Para petani yang terdata sebagai penerima KUR diwajibkan menandatangani berkas-berkas pendukung untuk kelancaran pengajuan pinjaman tersebut. Proses penandatanganan dilakukan oleh petani jagung di lima desa di wilayah Kecamatan Jerowaru yang melibatkan pihak ketiga atau off taker, yaitu PT ABB serta oknum pengurus HKTI NTB sebagai mitra pemerintah dan BNI Cabang Mataram sebagai mitra perbankan dalam penyaluran KUR. Sementara untuk petani tembakau melalui BNI Cabang Praya.
Saat proses pengajuan KUR ini, pihak BNI langsung turun meminta tanda tangan para petani dengan dilengkapi berkas pinjaman.
Namun persoalan mulai muncul, ketika sejumlah petani yang ingin mengajukan pinjaman di BRI tidak bisa diproses. Mereka dinilai keuangannya bermasalah, karena memiliki pinjaman dan tunggakan KUR di BNI. Tunggakan mereka pun beragam, mulai dari Rp 15 juta hingga Rp 45 juta tergantung dari jumlah luas lahan yang dimiliki. Sementara petani ini mengaku tidak pernah menerima dana kredit itu.
Ditanyakan perihal kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, Ely belum bisa menyebutkan secara pasti. Karena perhitungan kerugian negara nanti akan dilakuakn oleh yang berwenang. “Untuk kerugian negara nanti kita akan minta auditor BPKP NTB. Saya tidak boleh berestimasi,” pungkasnya. (cr-sid)
Post a Comment