JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Supriansa dalam sidang Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 yang digelar pada Senin (13/12/2021) secara daring. Pemohonan ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II).
“Otsus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan,” jelas Supriansa di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Dalam keterangannya, Supriansa juga mengungkapkan bahwa UU Otsus Papua merupakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan untuk menjamin keberlanjutan pemberian dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua (Otsus Papua) yang telah berjalan selama 20 tahun. Tak hanya itu, UU Otsus Papua juga bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan peningkatan pemerataan pembangunan di Papua.
Baca juga: Majelis Rakyat Papua Gugat Revisi UU Otsus Papua
Lebih lanjut Supriansa mengatakan, kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua. Hal ini termasuk memberikan peran yang memadai bagi Orang Asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan.
Supriansa juga menjelaskan, UU Otsus Papua mengubah beberapa Pasal dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 dan menambahkan materi baru untuk menyelesaikan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat. “UU ini mempertegas keberpihakan pemerintah pada Orang Asli Papua yang mendorong adanya penyusunan rencana induk di bidang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat demi peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar Supriansa.
Selain itu, lanjut Supriansa, perubahan UU Otsus Papua juga mengarahkan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah di Papua dengan membuka pendekatan penataan daerah bottom-up dan top-down dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan efisiensi.
Baca juga: Majelis Rakyat Papua Perbaiki Gugatan Revisi UU Otsus Papua
Berbeda dengan Aceh
Pada kesempatan yang sama, Maruarar Siahaan selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemohon mengatakan Papua yang memiliki wilayah kekhususan bersama-sama daerah lain seperti Aceh. Akan tetapi, perlakuannya tidak sama pada beberapa parameter yang dianut di Papua dan di Aceh.
Maruarar pun menilik dari dari sisi kedudukan. Ia menuturkan bahwa Majelis Rakyat Papua memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian yang mempengaruhi kewenangan MRP untuk melindungi masyarakat Papua.
Baca juga: Menko Polhukam: UU Otonomi Khusus Perkuat Papua Sebagai Bagian Sah NKRI
Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP). Pemohon menilai adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’. Kemudian, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.(*)
Post a Comment