Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi merevisi aturan tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019. Perubahan ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan cadangan devisa negara karena selama ini hasil ekspor Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang positif.
Keputusan yang mewajibkan para eksportir memarkir devisa hasil ekspornya di dalam negeri ini pun dinilai positif oleh berbagai pihak, termasuk pelaku pasar dan ekonom.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual mengungkapkan keputusan ini merupakan langkah maju dalam pengelolaan DHE.
"Artinya ini satu langkah lebih baik, sehingga nanti bisa menambah likuiditas valas di dalam negeri," ujar David kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (14/1/2023).
Baca: Lalu Lintas Devisa Boleh Diatur, Bagaimana Aturannya?
David menekankan dampak positif dari revisi aturan itu, yakni bakal ada aturan terkait rentang waktu lamanya eksportir harus memarkir dolarnya di Tanah Air atau pun perluasan sektor industri yang tidak hanya industri ekstraktif. Sehingga akan menambah pundi-pundi dollar di Tanah Air.
"Ujung-ujungnya kan likuiditas kita harapkan tambah meningkat. Sehingga suku bunga dana juga menurun dan ini sangat baik untuk sektor riil," tutur David.
"Selama ini untuk pinjaman valas kita, juga kredit valas meningkat cukup tinggi akhir-akhir ini, nah ini kebutuhan valas yang besar ini juga akan mempengaruhi kursnya pada akhirnya," ucapnya.
Kendati begitu, David mengingatkan, rencana pengaturan ini juga harus diiringi dengan peningkatan instrumen finansialnya, khususnya dalam bentuk valas. Supaya devisa yang parkir bisa memberi nilai tambah lebih bagi perekonomian dalam negeri.
"Harus dimanfaatkan optimal, termasuk juga hasil ekspornya, dan ini juga akan membantu perekonomian, karena memang kalau menurut data BI tidak sepenuhnya masuk ke dalam negeri ya hasil ekspor itu. Jadi berfluktuatif ya, 70-80% menurut mereka tapi belum semuanya," kata David.
Dia menganggap kelemahan terbesar pengelolaan devisa hasil ekspor sebelumnya terletak pada ketentuan yang hanya menitikberatkan pada pencatatannya. Artinya tidak sampai pada pemanfaatannya.
"Itu kan kelemahan dari aturan yang lama, hanya pencatatan. Kalau bisa ya lebih lama berada di dalam negeri walaupun ada lagi negara yang lebih ekstrim lagi, seperti Malaysia itu harus dikonversi," ucapnya.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga menyatakan dukungan terhadap keputusan tersebut. Meski demikian, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengingatkan, pengaturan itu nantinya harus dibuat sejelas mungkin demi menghindari multitafsir di tengah para pelaku usaha, khususnya investor.
"Secara umum BI tentu mendukung untuk penguatan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia. Hanya saja dalam pelaksanaan nanti harus hati-hati agar tidak ditafsirkan sebagai secara keliru," ujar dia.
Ketakutan BI beralasan, pasalnya dalam Undang-Undang (UU) yang mengatur soal devisa, Indonesia masih menganut devisa bebas, bukan sebaliknya, yakni kontrol devisa.
Seperti diketahui keputusan ini membawa rupiah menguat. Pada awal perdagangan, Rabu (12/1), nilai rupiah sempat berfluktuasi.
Tetapi memasuki tengah hari rupiah langsung menguat cukup tajam. Rupiah kemudian mengakhiri perdagangan di Rp 15.480/US$, menguat 0,58%. Dengan penguatan tersebut rupiah menjadi mata uang terbaik Asia.
Post a Comment