Chairman of MXGP Indonesia Zulkifliemansyah menuangkan curahan hati (curhat) panjang lebar di media sosial. Ia bercerita mengenai MXGP Samota Sumbawa yang gagal dihelat tahun ini.
Ia juga curhat betapa beratnya mendatangkan event MXGP ke Nusa Tenggara Barat (NTB) serta kepastian pelaksanaan MXGP di Sirkuit Selaparang, Kota Mataram.
“MXGP 2024 kalau tidak ada aral merintang akan dilaksanakan 2 kali di NTB. Pertama tanggal 29 dan 30 Juni 2024 dan event kedua tgl 6-7 Juli 2024 ini. Keduanya di selenggarakan Insya Allah di Sirkuit Selaparang Lombok,” katanya dalam akun Facebook resminya Bang Zul Zulkifliemansyah, Senin (3/6).
Kenapa tidak seperti tahun kemarin ada satu event yang dilaksanakan di Samota Sumbawa? Zulkifliemansyah mengaku ingin sekali tetap dilaksanakan di Samota di Sumbawa karena multiplier effect atau dampak ekonominya sangat besar.
“Coba lihat kepastian investasi di sekitar Samota sangat masif. Bandara Sumbawa saja di injeksi Rp 25 miliar tahun ini karena persiapan MXGP ini dan lain-lain. Jadi ingin sekali menyelenggarakannya di Samota, tapi karena pertimbangan efisiensi biaya saja,” ujarnya.
Menurutnya, untuk menyelenggarakan event di Sumbawa butuh tambahan biaya Rp 8 miliar untuk mobilitas logistik MXGP karena bandara Sumbawa belum bisa didarati pesawat berbadan lebar. “Insya Allah tahun-tahun berikutnya akan diselenggarakan di Samota lagi,” janjinya.
Menjadi tuan rumah MXGP ini, lanjut Zulkieflimansyah, tidak mudah prosesnya. Sejak awal NTB harus bersaing dengan Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Jakarta, dan Sumatera Selatan untuk menjadi tuan rumah di Indonesia. “Alhamdulillah dengan komunikasi yang baik dan dengan pengalaman 2 tahun sukses menyelenggarakan di NTB pemilik hak MXGP dan FIM (Fédération Internationale de Motocyclisme) tetap memprioritaskan NTB sebagai venue event MXGP tahun ini,” jelasnya.
Sebagai Gubernur saat itu, Zulkieflimansyah mengaku bersikeras bahwa MXGP harus dilaksanakan di NTB. “Kita di NTB ini harus mulai terbiasa bergaul dan terlibat aktif dalam proses dan panitia event international otomotif ini agar kita tak selamanya jadi penonton dan penikmat saja di daerah kita sendiri. Proses bisnis dan lika likunya harus kita pelajari dan kuasai,” terangnya.
Ini penting, karena dia yakin suatu saat event seperti MotoGP tak akan selamanya bisa ‘digendong’ oleh pemerintah pusat karena biaya penyelenggaraannya yang sangat besar sekali. “Tahun ini atau tahun depan pemerintah pusat mungkin masih berbaik hati mensubsidi MotoGP sampai ratusan miliar. Tapi saya yakin satu saat pemerintah pusat tidak akan mau lagi,” ungkap mantan Gubernur NTB.
Kalau pemerintah pusat tidak mau mensubsidi lagi, Zul sapaan akrabnya mempertanyakan, apa lantas investasi triliunan pemerintah pusat dengan membangun Sirkuit Mandalika yang kini jadi kebanggaan akan mangkrak, tak terurus dan dipenuhi balap-balap ala kadarnya. Bahkan dipenuhi hewan-hewan ternak karena sirkuit tak terurus.
“Mungkin berlebihan tapi saya nggak mau itu terjadi. Satu saat anak-anak muda daerah kita kalau ditantang begitu sudaj siap menjadi pengelola event ratusan miliar seperti MotoGP dan sanggup juga memelihara sirkuit Mandalika kebanggaan kita karena kita sudah belajar banyak mengelola event dunia seperti MXGP dan lain-lain ini,” katanya.
“Nasib kita harus berani kita tentukan oleh kita sendiri. Pembelajaran ini nggak mudah dan berliku. Tapi saya selalu yakin bahwa perjalan panjang memang selalu harus dimulai dengan langkah pertama bukan?,” ujar Zul.
Penyelenggaran MotoGP atau MXGP sementara ini, menurut dia, memang tidak menguntungkan panitia penyelenggara. Secara finansial panitia nombok dan cukup besar. “Dari hitung-hitungan bisnis mungkin setelah penyelenggaraan kelima dan seterusnya baru penyelenggaranya bisa tidak rugi bahkan untung. Sponsor-sponsor besar kadang butuh waktu untuk yakin kepada kemampuan dan integritas penyelenggara event,” jelasnya.
“Jadi kalau awal-awal penyelenggaraan MXGP ini ada masalah kiri kanan wajarlah. Kepahitan-kepahitan ini biasanya menyembuhkan banyak penyakit kehidupan. Lagipula setiap pembelajaran memang butuh biaya dan pengorbanan yang tidak sedikit,” ujarnya.
Kalau penyelenggara MotoGP atau MXGP rugi kok penyelenggara mau tetap melaksanakan? Menurut Zul, selain untuk pembelajaran, panitia bersemangat menyelenggarakan event seperti MXGP ini karena memang impact ekonomi buat daerah besar sekali. Hasil laporan BPS dan Litbang KOMPAS sudah mengkonfirmasi hal ini. “Inilah yang di dalam jargon ilmu ekonomi dikenal dengan istilah Positive Externality. Event ini menjadi pengungkit banyak eksternalitas yang sifatnya positif. Ada dampak turunan yg positif yang bisa menggeliatkan kegiatan ekonomi dan produksi kita,” terangnya lagi.
Penyelenggara memang rugi, kata Zul, tapi sigma buat ekonomi sangat besar dan positif. Penerbangan jadi penuh, hotel jadi terisi, moda transportasi bergairah, restoran full, dsn destinasi wisata banyak dikunjungi.
“Toko-toko laku jualannya, begitu juga UKM hidup dan bergairah. Bandara kita diperbaiki, pelabuhan laut didandani, listrik nggak boleh mati, fasilitas telekomunikasi diperbaiki, kecepatan internet harus kelas satu, rumah sakit kita jadi harus berstandar internasional dan lainnya. Dan yang paling penting nama daerah kita jadi buah bibir di seluruh dunia karena broadcastingnya global dan mendunia,” tegasnya.
“Kalau masih ada kekurangan sana sini di awal-awal penyelenggaraan ya dimaklumi sajalah. Nggak ada sesuatu yang baru kita mulai hasilnya langsung sempurna. Kekurangan dan kelemahan ayo coba kita selesaikan dengan komunikasi yg baik dan hangat. Jadi minta dukungan dan doa semua, semoga ikhtiar ini berhasil dan tanpa mengalami hambatan apa-apa,” katanya
Post a Comment