Kelompok pemilih muda dari kalangan milenial dan generasi Z punya pengaruh besar terhadap hasil Pemilu 2024, baik pada pemilihan presiden maupun pemilihan anggota legislatif.
Oleh karena itu, keberadaan pemilih muda dalam setiap hajatan elektoral tidak bisa dipandang sebelah mata, termasuk pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak pada 27 November 2024.
Pada Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pemilih muda di Nusa Tenggara Barat mencapai 2,1 juta pemilih atau 54,04 persen dari jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 3,91 juta orang.
Adapun angka partisipasi pemilih di provinsi berjuluk Bumi Gora dalam pemilihan umum tahun ini mencapai 84 persen. Angka itu lebih tinggi dari Pemilu 2019 sebanyak 82 persen.
Peningkatan partisipasi pemilih tidak hanya pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, tapi juga pilpres, DPD, dan DPR RI. Partisipasi pemilih yang besar itu tidak terlepas dari peran pemilih muda.
Pemilih muda memiliki rentang usia 17 sampai 39 tahun. Kategori pemilih muda adalah kelompok pemilih generasi Z (17 sampai 23 tahun) dan generasi milenial (24 sampai 39 tahun). Jumlah mereka diproyeksikan mencapai 60 persen dalam Pilkada NTB 2024.
Komisioner KPU NTB Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Parmas, dan SDM, Agus Hilman, mengakui meski pihaknya belum menetapkan daftar pemilih tetap, jumlah pemilih pilkada serentak dipastikan bertambah.
Penambahan jumlah pemilih itu datang dari pemilih pemula yang didasari data hasil pencocokan dan penelitian (coklit) yang dilakukan KPU NTB bersama KPU di 10 kabupaten/kota pada 24 Juni hingga 24 Juli 2024.
Sebanyak 3,94 juta orang yang tercatat di daftar penduduk potensial pemilih pemilihan atau DP4 itu terdiri atas laki-laki 1,93 juta orang dan perempuan 2,01 juta orang, hasilnya diserahkan Kementerian Dalam Negeri. Adapun hasil coklit menunjukkan jumlah potensi pemilih di NTB menjadi 4 juta orang.
Penambahan pemilih itu datang dari generasi Z lantaran usia mereka sudah mencapai 17 tahun, sedangkan pada pemilu lalu secara syarat usia belum masuk. Merujuk data itu, maka potensi pemilih muda memegang peranan utama dalam arus keterpilihan peserta pilkada.
Karakteristik pemilih muda, antara lain, sering memunculkan kejutan dalam menentukan pilihannya. Karena populasinya dominan, para peserta pilkada harus bisa mendekati mereka melalui visi dan program yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Analis politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Ihsan Hamid, memandang fenomena besarnya jumlah pemilih muda di NZB tidak lepas dari keberadaan generasi Z.
Jika merujuk hasil coklit KPU ada 4 juta orang, maka jumlah pemilih pemuda mencapai 2,4 juta orang atau 60 persen dari total pemilih. Suara yang besar itu berpotensi menentukan kemenangan dalam setiap kontestan pilkada.
Pemilih muda juga dinilai sebagai pemilih yang rasional, unik, melek teknologi, tidak mudah untuk didikte, dan tidak mudah pula didekati partai politik maupun peserta pemilu. Karakter mereka cenderung mengikuti perkembangan tren, budaya yang santai, bebas, informal, dan lebih suka mencari kesenangan.
Meski demikian, tidak semua pemilih muda paham terhadap pemilu, seperti anak-anak di kampung maupun desa akibat keterbatasan literasi sehingga tidak tahu dinamika politik aktual.
Jika kekuatan populasi itu mampu dikelola secara baik oleh calon kepala daerah, maka mereka bisa mendulang banyak suara dari kelompok ini.
Untuk memenangi pilkada dengan membidik pemilih muda, yang perlu dilakukan adalah memahami alam berpikir, cara bertindak, kecenderungan, dan hobi anak muda. Tugas itu juga menjadi tantangan bagi KPU untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Oleh karena itu, KPU harus mengajak pemilih muda supaya tidak apatis, dengan intensif menyosialisasikan setiap tahapan pilkada, terutama pada hari H pencoblosan.
Tak hanya itu, kecenderungan mereka yang menyukai game online, basket, atau hal-hal berbau teknologi, harus dipahami sebagai cara sosialisasi dengan menggunakan instrumen teknologi.
Selanjutnya keberadaan pemilih muda harus diketahui keberadaannya. Bila di mal, buatlah kegiatan sosialisasi di sana, begitu juga kalau di kampus.
Kalau di udara (daring), kecenderungan apa yang dilihat dan mengakses media sosial apa, maka di situlah dilakukan sosialisasi.
Oleh karena itu, KPU perlu melakukan berbagai pendekatan untuk meningkatkan partisipasi pemilih muda dalam momentum pemilihan kepala daerah.
Calon kepala daerah yang dapat mengambil hati pemilih muda berpeluang besar menjadi pemenang pilkada.
Untuk memenangi pilkada, susun berbagai cara dan strategi untuk mengambil hati pemilih muda dengan berbagai konten yang menarik. Peserta pemilihan harus memahami minat pemilih muda dan mesti bisa memerankan apa yang mereka suka.
Calon kepala daerah perlu menyentuh pemilih muda dengan topik-topik yang ringan tapi menggembirakan alih-alih topik berat yang membosankan.
Psikografi anak muda Di NTB saat ini tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2024. Saat ini mereka banyak terkonsentrasi di perkotaan karena tengah menempuh pendidikan. Namun, tidak sedikit yang berada di pondok pesantren di desa-desa. Karena berada di lingkungan yang berbeda maka cara menggaetnya pun harus menyesuaikan posisi mereka.
Di pondok pesantren, misalnya, jangan ajak mereka berjoget tapi didatangi untuk mendengarkan musik salawat yang lagi populer. Pendekatan ini bisa diterima mereka. Jadi, pandai-pandailah membaca hati, pikiran, dan memahami tren fesyen. Kiat ini juga menjadi kunci menggaet pemilih muda.
Mengajak pemilih muda untuk berpartisipasi pada Pilkada Serentak 2024 bukan hanya tugas KPU. Kontestan pilkada beserta tim suksesnya-- dengan cara-cara sportif--juga punya kewajiban sama agar pilkada menghasilkan pemimpin daerah yang bermutu.
Post a Comment