JAKARTA - Sampai saat ini banyak orang lebih banyak membicarakan kerugian yang terjadi akibat UU Cipta Kerja atau Omnibus Law dari Klaster Ketenagakerjaan.
Kerugian ini memicu terjadinya demo UU Cipta Kerja oleh para buruh.
Tak banyak orang yang membicarakan keuntungan dari UU Ciptaker atau pasal-pasal baik di UU Cipta Kerja.
Kini, terungkap keuntungan didapat karyawan kontrak di UU Cipta Kerja Omnibus Law.
Ternyata aturan UU Cipta Kerja Omnibus Law tak semua merugikan pekerja.
Salah satunya terkait dengan kontrak kerja PKWT dan outsourcing.
Menteri Ketenagakerjaan RI atau Menaker, Ida Fauziyah, mengungkapkan ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan para pekerja kontrak dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait perlindungan pekerja saat menjadi korban pemutusan hubungan kerja ( PHK ).
Dikatakan Ida Fauziyah, pekerja dengan status kontrak akan mendapatkan kompensasi jika terkena PHK.
Dalam aturan lama di UU Ketenagakerjaan, kompensasi hanya diberikan untuk pekerja yang berstatus karyawan tetap lewat skema pesangon.
"Oh, ada (keuntungan pekerja kontrak di UU Cipta Kerja). Dulu, PKWT itu tidak ada kompensasi kalau berakhir masa kerjanya. Sekarang, kalau kontrak berakhir, dia mendapat kompensasi," ungkap Ida dikutip dari Harian Kompas, Senin (19/10/2020).
Dengan kewajiban membayar kompensasi, perusahaan atau pengusaha akan berpikir dua kali untuk memberhentikan karyawan kontrak.
Selama ini banyak kasus perusahaan memecat pekerja kontrak kapan saja, baik karena alasan efisiensi maupun kinerja karyawan yang tak sesuai harapan.
Menurut Ida, dengan adanya kompensasi di UU Cipta Kerja bagi pekerja yang berstatus kontrak PKWT, secara tidak langsung karyawan atau buruh akan mendapatkan perlindungan lebih besar dari negara.
"Pengusaha akhirnya berpikir, mau saya kontrak terus-terusan pun, tetap saja saya harus bayar pesangon. Ini sebenarnya bentuk perlindungan yang tidak kita atur di UU sebelumnya," ucap Ida.
"Pada prinsipnya, RUU ini ingin melindungi semua pekerja. Kelompok pekerja yang eksis, kelompok pencari kerja, dan kelompok pekerja pada sektor UMKM," imbuh dia.
Ia melanjutkan, setelah diberlakukannya UU Cipta Kerja, otomatis hak karyawan kontrak dengan pekerja yang sudah berstatus karyawan tetap akan sama jika menjadi korban PHK.
"UU Ketenagakerjaan sekarang sudah memberi proteksi yang besar dan proteksi itu diadopsi di RUU Cipta Kerja. Contohnya, di UU Ketenagakerjaan tidak ada perlindungan bagi pekerja PKWT," ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ) ini.
"Di RUU ini, perlindungan sosial harus tetap diberikan kepada pekerja PKWT ataupun PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu). Jadi, mereka punya hak dasar yang sama dengan pekerja tetap untuk mendapatkan jaminan sosial, pengaturan uang lembur, dan jam kerja yang sama," kata dia lagi.
Ida lalu menjelaskan soal batasan kontrak PKWT yang dihapus di UU Cipta Kerja.
Pemerintah beralasan dihapuskannya Pasal 59 yang mengatur batas waktu karena UU Cipta Kerja menganut fleksibilitas.
Hal itu juga sudah lazim diterapkan di negara lain.
"Kita belajar dari beberapa negara. Jika hal itu diatur di undang-undang, tidak akan ada fleksibilitas pengaturan. Persoalan ini tidak sederhana ketika dinamika tenaga kerja tinggi," kata Ida.
Ia menuturkan, soal batas waktu PKWT pekerja kontrak masih akan dibahas lagi dalam aturan turunan.
Aturan batasan waktu kontrak kerja hingga maksimal 3 tahun dinilai kurang fleksibel.
"Kami sudah sepakat bersama teman-teman di forum tripartit (pemerintah, pengusaha, dan buruh), hal ini akan dibicarakan dalam perumusan peraturan pemerintah (PP). Jadi, tidak diisi sendiri oleh pemerintah," ujar dia.
Sebagai informasi, dalam pasal UU Nomor 13 Tahun 2003 yang direvisi UU Cipta Kerja, secara eksplisit mengatur PKWT.
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha atau perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk jenis pekerjaan tertentu.
Dalam perjanjian PKWT juga mengatur kedudukan atau jabatan, gaji atau upah pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi.
Perusahaan hanya bisa melakukan kontrak kerja perjanjian PKWT paling lama 3 tahun.
Setelah itu, perusahaan diwajibkan untuk mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap jika ingin mempekerjakannya setelah lewat masa 3 tahun.
Di tengah lantangnya penolakan berbagai elemen masyarakat sipil, omnibus law RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).
Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.
Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan alasan pentingnya RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
"Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja," ujar Airlangga Hartarto.
"UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi," lanjut dia.
Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, UU Cipta Kerja akan mampu membangun ekosistem berusaha yang lebih baik.
Menurut Puan, pembahasan UU Cipta Kerja yang dimulai DPR dan pemerintah sejak April hingga Oktober dilakukan secara transparan dan cermat.
Dia menegaskan, muatan UU Cipta Kerja mengutamakan kepentingan nasional.
"RUU ini telah dapat diselesaikan oleh pemerintah dan DPR melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang," kata dia.
Kompas.com mencatat beberapa poin pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, di antaranya sebagai berikut:
* Pasal 59
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
* Pasal 59 ayat (4)
UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
* Pasal 79
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
* Pasal 88
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan yang dihapus
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.
Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.(*)
Sumber