Banyaknya figur calon Gubernur NTB dari Kabupaten Lombok Tengah dinilai menjadi momentum terciptanya sejarah Gubernur NTB pertama dari Lombok Tengah.
Namun di saat yang sama, hadirnya banyak calon dari Gumi Tatas Tuhu Trasna tersebut juga justru berpotensi membuat sirna peluang emas yang didapatkan di Pilgub NTB 2024 mendatang.
Potensi pecahanya suara pemilih Lombok Tengah akibat banyaknya calon yang muncul mewakili daerah yang sama disampaikan oleh pengamat politik NTB Dr Ihsan Hamid.
“Ketika di satu wilayah muncul banyak calon, secara otomotis akan membuat polarirasi dukungan. Bisa ditentukan, di ukuran sebuah kabupaten bisa dipastikan akan terpecahm” kata Ihsan pada Lombok Post, Kamis (30/5).
Alasan pemilih yang ‘non rasional’ menjatuhkan pilihan biasanya mengacu pada solidaritas keluarga, teman, dan domisili tempat tinggal mereka.
Semua itu sudah pasti akan membentuk ikatan tertentu untuk menjadi alasan memilih.
Kemunculan Lalu Muhammad Iqbal, Pahtul Bahri, dan Lalu Gita Ariadi menyusul Suhaili yang sebelumnya bertarung pada Pilgub NTB 2018 lalu tentu akan menyebabkan terpecahnya suara pemilih di Lombok Tengah.
Belum lagi calon di luar Lombok Tengah yang sudah barang pasti memiliki akar suara dari jalan partai atau organisasi massa yang mendukungnya.
“Kita berkaca di Pilkada 2018, saat yang muncul hanya pak Suhaili, suaranya dominan di Lombok Tengah. Hampir 200 ribuan yang memilih beliau waktu itu. Bayangkan ketika di situ akan ada empat calon, Suhaeli, Iqbal, Pathul, dan Lalu Gita. Terbayang 200 ribu yang memilih Suhaili tadi bisa jadi terpecah ke empat orang itu,” papar Ihsan.
Padahal inilah momentum Lombok Tengah untuk mencetak sejarah memenangkan Pilkada dari sudut pandang primordial atau kedaerahan.
Menurut Ihsan, jika hal itu dikedepankan, bisa saja keempat calon berembuk untuk mengusung satu orang.
Hal itu masih masuk akal dan elok selama sifatnya tidak memaksa hak diantara empat calon dengan narasi ‘larangan’ untuk berkompetisi.
“Kalau bisa dirembukkan secara bersama. Lalu menghasilkan satu calon itu sangat bagus. Karena saya yakin, kalau satu calon saja, Loteng itu akan sangat solid,” tegasnya.
Momentum atau waktu emas Loteng hari ini juga dikuatkan dengan pecah kongsinya Zul-Rohmi.
Menurut Ihsan, jika Loteng dengan jumlah pemilih suara terbanyak kedua setelah Lotim di NTB memiliki satu calon, maka besar kemungkinan calon tersebut berpeluang meraih suara yang sangat dominan di Loteng.
Isu primordial atau kedaerahan sendiri dinilai masih sangat menentukan arah pemilih saat ini.
Memang dengan zaman yang semakin modern, kedaerahan tidak lagi menjadi variabel penentu.
“Namun dalam konteks fakta di lapangan, isu kedaerahan di NTB masih kuat sebagai alasan orang memilih. Orang melihat background tempat lahir atau keluarga besar. Itu menjadi salah satu faktor. Itu mengapa dalam pemilihan pasangan calon juga mesti ada kombinasi. Tidak ada satu pasangan yang berasal dari satu kabupaten,” jelasnya.
Hal ini juga nampak pada pemilih yang “literasi politiknya” belum memadai.
Namun bagi pemilih rasional, tentu isu kedaerahan dikesampingkan.
Di mana alasan memilih lebih pada faktor soal kualitas individu calon, visi dan misi, gagasan, dan nilai-nilai ideal yang diyakini mesti ada pada sosok seorang pemimpin daerah.
“Denga nada penambahan DPT, taruh saja ada 4 juta pemilih, besaran pemilih non rasional berpotensi 55 sampai 60 persen,” terang Ihsan.