Danrem 162/WB Tegaskan Netralitas TNI dan Waspadai Kerawanan Pilkada 2024 di NTB
Keseimbangan Antara Adat dan Demokrasi dalam Pilkada NTB 2024
Lalu H. Sajim Sastrawan, S.H., Ketua Bale Mediasi Provinsi NTB dan Pengerakse Agung Majelis Adat Sasak dalam Obrolan Budaya Berugak Kita Pro 4 RRI Mataram, Selasa (17/9/2024) menegaskan pentingnya peran adat dalam mensukseskan Pilkada serentak ini.
Menurut Sajim, masyarakat adat di NTB, yang terdiri dari suku Sasak, Sumbawa, dan Mbojo, harus berpartisipasi aktif dalam Pilkada. Namun, tantangan muncul ketika adat membatasi pilihan calon dan mempengaruhi prinsip hak pilih universal.
“Di beberapa daerah, tradisi menempatkan hak kepemimpinan pada keluarga tertentu, yang berpotensi merusak keadilan dalam proses pemilihan,” jelasnya.
Sajim menjelaskan, meskipun ada tantangan dari tradisi yang bisa membatasi pilihan, adat tetap memiliki kontribusi besar dalam menciptakan pemimpin yang mengedepankan nilai luhur. Tiga nilai utama dalam adat, yakni tindih (saling menghargai), mali (menghindari pelanggaran adat), dan merang (rasa malu), dapat menjadi tolok ukur karakter seorang pemimpin.
Bale Mediasi Provinsi NTB sebagai lembaga yang menjaga kelestarian adat, menurut Sajim, berkomitmen untuk mendukung Pilkada yang bersih dan adil, dengan menghormati tradisi tanpa merusak hak-hak demokratis.
“Kami berusaha untuk terus menjembatani adat dan prinsip demokrasi modern, agar masyarakat bisa memilih pemimpin yang benar-benar membawa manfaat bagi daerah ini,” ujarnya.
Ia mengajak masyarakat NTB untuk menjadikan adat sebagai pemandu moral dalam Pilkada dan tetap menghormati hak pilih setiap warga.
Jaminan Integritas PTPS di Lombok Timur Menjalankan Tugas
Akademisi UIN Mataram nilai Pilkada NTB kian matang
Dosen Pemikiran Politik Islam
dari Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Agus, menilai pemilihan umum
kepala daerah atau pilkada Nusa Tenggara Barat sudah kian matang.
"Saya kira baik politisi
maupun masyarakat sudah belajar dan beradaptasi baik tentang pilkada,"
ujarnya saat ditemui di Mataram, Kamis.
Agus mengatakan tingkat
kematangan masyarakat dalam berpolitik dapat mengurangi kekhawatiran terkait
indikasi kerawanan yang terjadi di daerah mulai dari praktik politik uang,
pelibatan aparatur pemerintahan, penggunaan fasilitas negara saat kampanye, hingga
konflik horizontal antar pendukung calon kepala daerah.
Selama dua dekade terakhir,
imbuhnya, pengetahuan dan pemahaman masyarakat Nusa Tenggara Barat terhadap
politik telah mengalami perubahan yang signifikan.
"Saya melihat NTB, dari
pilkada ke pilkada, saya selalu optimis bahwa pilkada di NTB bisa berjalan
dengan baik dan menyenangkan," kata Agus.
Berdasarkan pemberitaan
sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu NTB mengungkapkan dari
dua kota dan delapan kabupaten di Nusa Tenggara Barat terdapat tiga daerah yang
masuk kategori rawan, yaitu Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Bima, dan Kota
Bima.
Sedangkan, tujuh daerah lain
berupa Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Timur,
Sumbawa Barat, Sumbawa, dan Dompu masuk ke dalam kategori rawan sedang.
Agus mengungkapkan bentuk
pencegahan pelanggaran pilkada yang dapat ditempuh adalah memastikan daftar
pemilih tetap valid, tidak ada pemilih ganda, dan nama-nama yang sudah
meninggal dihapus dari daftar pemilih tetap.
Kemudian bakal pencalonan,
verifikasi administrasi bakal calon, dan persyaratan kesehatan dilakukan dengan
ketat untuk mencegah timbulnya permasalahan.
"Dalam proses kampanye
hindari unsur SARA dan hoaks di media sosial," ujar akademisi UIN Mataram
tersebut.
Lebih lanjut dia menyampaikan
langkah memastikan pilkada berjalan lancar adalah kepastian hukum.
Para penyelenggara harus mematuhi
regulasi yang ada tanpa mengubah aturan teknis di tengah jalan. Keputusan
pengawas pemilihan umum harus konsisten dengan regulasi dan tidak
membingungkan.
Selain itu integritas
penyelenggara semua pihak juga menjadi elemen penting, termasuk KPU dan Bawaslu
harus menjalankan pemilu secara jujur, independen, dan adil, tanpa melakukan
kecurangan atau perlakuan istimewa terhadap kandidat.
Langkah selanjutnya adalah
memberikan akses terbuka kepada publik untuk semua proses pemilu, termasuk
pencalonan, data pemilih, dan hasil pemilu. Akses yang terbuka dapat mengurangi
kecurigaan dan timbulnya potensi konflik.
Merujuk data Komisi Pemilihan
Umum (KPU), jumlah daftar pemilih sementara pada pilkada tahun ini tercatat
sebanyak 3,96 juta jiwa yang didominasi oleh perempuan 2,02 juta jiwa dan
pemilih laki-laki mencapai 1,94 juta jiwa.
Jutaan pemilih sementara itu tersebar di 8.405
tempat pemungutan suara yang berada di 1.166 desa/kelurahan dan 117 kecamatan
di Nusa Tenggara Barat.
sumber: antaranews
TNI-Polri Pataroli Bersama, Jaga Kamtibmas Pilkada Kota Bima
Jelang Masa Kampanye, Bawaslu NTB Atensi Politik Uang dan SARA
“Contoh pada tahapan pencalonan. Paslon berpotensi bisa diloloskan atau tidak diloloskan, bisa memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat. Jika nanti dia tidak memenuhi syarat, dia punya hak untuk melakukan sengketa kepada Bawaslu,” ujar anggota Bawaslu NTB, Hasan Basri pada Jumat 13 september 2024
Diketahui pada saat ini sedang berlangsung proses verifikasi administrasi syarat calon di KPU. Dalam waktu dekat akan diumumkan dan ditetapkan pasangan calon yang memenuhi syarat atau yang tidak memenuhi syarat. Bawaslu pun memberikan atensi serius pada tahapan ini.
Selanjutnya pada tahapan kampanye yang sebentar lagi akan masuk setelah penetapan pasangan calon dan pengambilan nomor urut. Kerawanan masa kampanye juga cukup tinggi. Hasan menyebutkan praktik politik uang (money politics) dan politisasi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) cukup rawan pada masa kampanye di Pilkada NTB 2024.
“Tahapan kampanye ini rawan karena para Paslon akan bersentuhan langsung dengan namanya pemilih. Itu nanti ada yang disebut transaksi politik uang, politisasi SARA, melibatkan pihak-pihak yang dilarang seperti ASN, TNI, Polri dan Kepala Desa. Berikutnya bisa ada kampanye hoaks, berita bohong di media sosial,” kata Hasan.
Hasan menjelaskan politik uang dan politisasi SARA dapat berakibat terjadinya pertikaian antar kelompok. Karena masing-masing Paslon kepala daerah punya keterikatan batin atau kekerabatan. Hal ini membuat potensi gesekan antar pendukung cukup tinggi.
Selain itu money politics dan politisasi SARA, kata Hasan, Bawaslu NTB juga memberikan atensi soal netralitas penyelenggara Pemilu. Hal ini berkaca pada pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2024. Pada Pilkada NTB 2024, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Ini kami lagi akan nyusun peta TPS rawan. Peta TPS rawan itu soal aksesnya, rawan soal netralitas penyelenggara adhock. Kemarin di Pemilu 2024, ada 13 ribuan TPS rawan di NTB,” ujarnya.
Sebelumnya Bawaslu NTB telah meluncurkan peta kerawanan pilkada 2024 di wilayah Provinsi NTB. Dari 10 daerah Kabupaten/Kota di wilayah NTB, terdapat tiga daerah yang masuk kategori rawan tinggi pada perhelatan pilkada serentak 2024. Tiga daerah tersebut yakni Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Bima, dan Kota Bima.
Peta Kerawanan di Pilkada NTB 2024: 3 Daerah Rawan Tinggi dan 7 Sedang
Berdasarkan hasil pemetaan Bawaslu RI, Provinsi NTB tempati posisi keenam kategori rawan sedang di Pilkada 2024.
“Secara nasional, Provinsi NTB berada pada peringkat 6 dari 28 provinsi yang masuk dalam kategori rawan sedang,” kata Komisioner Bawaslu NTB Hasan Basri, Kamis, 12 Desember 2024.
Sementara itu, berdasarkan pemetaan kerawanan pemilihan tingkat kabupaten atau kota di NTB, terdapat tiga daerah masuk kategori rawan tinggi dan tujuh daerah lainnya rawan sedang.
Daerah di NTB masuk dalam kategori rawan tinggi di Pilkada 2024. Di antaranya, Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Lombok Tengah.
Sedangkan, tujuh daerah masuk kategori rawan sedang adalah, Kota Mataram, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Utara, dan Lombok Barat.
“Indikator kerawanan tersebur merujuk pada sosial politik, kampanye, pencalonan, dan pungut biaya,” ujarnya.
Untuk sosial politik, lanjut Itratip, terdapat dua indikator menjadi rujukan, seperti terjadi peristiwa intimidasi dan ancaman dan kekerasan verbal atau fisik. Kemudian, perusakan fasilitas umum dan penyelenggara pemilu.
Kemudian pencalonan, terdapat dua indikator yang menjadi potensi kerawanan. Yakni berkaitan dengan potensi keberadaan calon petahana dan yang berasal dari ASN/TNI/Polri.
Pada kategori kampanye, terdapt lima indikator menjadi potensi kerawanan. Misalnya, kampanye bermuatan SARA, fitnah, hoax, hasutan dan adu domba.
Selanjutnya, praktik politik uang, pelibatan pemerintah, penggunaan fasilitas negara, serta konflik kekerasan selama kampanye.
Terkahir pungut suara, ada empat indikator menjadi potensi kerawanan, yakni keberatan saksi yang tidak ditindaklanjuti. Potensi PSU, Penghitunagn Suara Ulang dan kesalahan prosedur oleh KPPS.
“Ada tiga tahapan yang paling rawan, secara berturut-turut yakni pencalonan yang sedang berjalan ini, kampanye, pungut hitung, dan rekapitulasi,” tegas Hasan.